SEBUAH RENUNGAN
I. PROLOG
POLA PEMIKIRAN DELEGASI BELANDA, yang dipimpin oleh Menteri Wilayah Seberang Lautan Mr.Johannes Henricus van Maarseveen: (Dari Kolom berita di bawah ini )
Dari berbagai kesepakatan yang tercapai hingga tanggal 29 Oktober, perundingan terbentur pada pembicaraan tentang penentuan status kenegaraan wilayah Irian Barat. Keesokan harinya, persoalan Irian Barat kembali dirundingkan sebagai agenda pembicaraan terakhir. Perdebatan bermula ketika Menteri Maarseveen menerangkan bahwa masyarakat Irian Barat bukanlah bagian dari lingkungan Indonesia secara etnologis dan kultural. Selain itu, Maarseveen juga meragukan kemampuan Indonesia sebagai negara yang baru merdeka dalam membangun kesejahteraan rakyat Papua.
KOMENTAR KITA:... Lalu Apakah sang Menteri Maarseveen punya bukti Hukum , bukti cultural dan Bukti Etnologis dan Geografis serta bagaimana Menteri Maarseveen begitu pastinya bahwa Penduduk Asli Irian Barat adalah BAGIAN DARI ETNIK BANGSA BELANDA...??? ( sudah hanya dari segi Geografis, maka Irian Barat berjarak lebih dari 25.OOO Km jauhnya dari Negeri Di bawah Permukaan Laut Kerajaan Belanda ...Lalu dimana Logikanya bahwa Irian Barat adalah Bagian Kedaulatan Ker,Belanda ( jikapun dikatakan oleh Menteri Overseas Maritim Belanda / van Maarseveen /, bhw Irian Barat bukan bagian R.I ? /
>> JIka menurut Pihak Belanda dan atau Pihak Negara Barat lainya , bahaw R.I yang Tidak sama sekali mempunyai Hak MARITIM atas Papua Barat ( bekas Kolonial Belanda yang menjajah seluruh Kepulauan di seluruh Kedekataan dan di sekitar Perairan Maritim wilyaah Sovereignty Indonesia dan Jika katanya ''Penduduk Papua adalah berbeda Etnis dan Budaya '' dengan PENDUDUK INDONESIA yang juga secara Historis selalu Bhineka itu dan Historis terdiri dari berbagai Suku , Bahasa dan Kebiasan /Budaya yang beragam itu....Lalu pula HUBUNGAN DAN HAKNYA dan APA PULA URUSANNYA Orang2 Barat Berkulit putih tsb dengan seluruh PENDUDUK dan seluruh Wilyah Kepulauan di Pasifik ( mulai dari Kepulaun Hawai- Micronesia/ Polenesia , Indonesia, Malaysia dan PENDUDUK ASIA KESELURUHANNYA .. untuk punya hak dan Kekuasan Meng-Anexi.... Menjajah dan memiliki Kawasan DI HAMPIR SELURUH KEPULAUAN PASIFIK ysb yang jauh berlainan dan tidak sama dengan Etnis dan Budaya Mereka sbg Etnis yang berlainan.. serta sangat Jauh pula Jaraknya dari negeri2 Mereka .?
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Dengan mengacu kepada keadaan penduduk asli yang masih terbelakang, ia (Maarseveen) menyatakan bahwa kepemimpinan Belanda di wilayah itu akan lebih baik dalam mengembangkan martabat masyarakat Irian Barat," tulis Agung.
KOMENTAR Kita :
> Sikap dan Pernyataan yang sangat Arogan,Tak tahu malu, Ironis dan penuh Hoax dari Para Penjajah Dunia saat itu. Dan kenyataan menunjukkan bhw lebih dari 3,5 Abad ( dari thn 1602 ketika VOC menguasai Wilayah Maritim Nusantara R.I sejak 1602 s/d 196O ketika Irina Barat direbut kembali dari Penjajahan Kerajaan Belanda (yang berjarak sekitar 25.000 Km dari pulau Irian Barat dan dari segi Etnis dan Cultural diameter terbalik dan bertolak belakang satu/sama lain ) ini , maka MARTABAT dan PERKEMBANGAN EKONOMI SETEMPAT , CARA HIDUP DAN KESADARAN POLITIK dan TARAF PENDIDIKAN Penduduk IRIAN BARAT -[ selama lh3,5 ABAD ( lebih dari 350 thn) di bawah Pimpinan Menteri Overseas Maritim Belanda / van Maarseveen / di bawah Pemerintahan Kolonial Belanda ] sama sekali TIDAK MENGALAMI PERUBAHAN YANG SANGAT DASAR SEKALIPUN .
> Baru kemudian setelah thn 1960 (dibawah Pem.Soekarno) dan Pemerintahan R.I selanjutnya / terutama dibawah Pemerintahan Kabinet JOKOWI dewasa kini , Pembangunan Ekonomi daerah setempat (Irian barat), Taraf Penghidupan, Perkembangan Budaya Kemajuan dalam Pembangunan System Administrasi Daerah setempat dan Pendidikan serta Partisipasi di banyak Bidang Kehidupan politik,Social dan ekonomi) dan Peningkatan Martabat Penduduk setempat berkembang maju . Putra & Putri dan Penduduk Irian sudah bisa menikmati segala Kebutuhan Dasar dan Hak Dasar dari Kehidupan mereka dan Martabatnya yang terus menerus meningkat sebagai Bagian dari Penduduk dan warga Negara Rep.Kesatuan Indonesia dalam keseluruhan-nya. Dewasa kini Penduduk Irian Barat mempunyai Perwakilan Daerahnya, Gubernurnya, Unit2 dan lembaga2 Adiminstarsi ,Lembaga2 Hukum dan Aparatur Keamananan Daerahnya secara Strukturil , System INFRASTRUKTUR dan KOMUNIKASI YANG MODERN (termasuk Fasilitas Internet dan System Perhubungan Modern ( Darat,Laut dan Udara ) lengkap dengan Bandara Modernnya. Dan in semua terjadi di Era Kekuasan dan Kedaulatan Negara R.I dan TIDAK PERNAH TERJADI SAMA SEKALI di bawah kekuasaan V.O.C. Tidak pula selama dibawah KEKUASAAN KOLONIAL BELANDA yang melalui Perjalanannya yang Maha panjang selama lebih dari 3,5 Abad mencengkramkan kukunya di Bumi Indonesia dan khususnya..di Papua Barat .
>> Suatu hal yang selama lebih dari 3,5 ABAD ..Tidak satu pun langkah yang diambil oleh Pem.Kolonial Kerjaan Belanda di Irian Barat ( selain dan tak lebih '' MISI SENDING '' GEREJA PROSTESTANNYA '' .... sebagai ''PENYEJUK HATI '' Penduduk setempat ( Penduduk Papua Barat), yang secara Ironis kita tekankan .... bahwa menurut Pihak Pem.Kolonial Belanda merupakan '' bagian dari Etnis dan kultur '' dari Menteri Wilayah Seberang Lautan Mr. Johannes Henricus van Maarseveen ...dan Kerjaan Belanada
https://historia.id/politik/articles/debat-pendiri-bangsa-soal-papua-v5EAo
Debat Pendiri Bangsa Soal Papua
Sukarno dan Yamin ingin Papua menjadi bagian Indonesia Raya. Sementara Hatta lebih cenderung ke Malaya.
09 May 2019
Yamin, Sukarno, dan Hatta bersilang pendapat dalam sidang BPUPKI mengenai wilayah Papua. Ilustrasi: Gun Gun/Historia.
PAPUA, wilayah di ujung timur negeri ini kerap memantik silang pendapat sejak dulu hingga sekarang. Ketika para pendiri bangsa merancang luas wilayah Indonesia, debat alot bergaung saat membahas Papua. Rekaman perbincangan ini tercatat dalam dalam rapat BPUPKI pada 10—11 Juli 1945.
Suara yang menyetujui masuknya Papua ke dalam wilayah Indonesia didahului oleh Kahar Muzakkar, wakil dari Sulawesi Selatan. Pendapat Kahar Muzakkar dilandasi pertimbangan pragmatis. Namun, dia tetap menghargai rakyat Papua apabila ingin bergabung, bergabunglah secara sukarela.
"Biarlah yang tinggal di Papua (yang) agak lebih hitam-hitaman sedikit daripada kita, akan tetapi tanah Papua itu pula menjadi sumber kekayaan kita. Janganlah sumber kekayaan yang diwariskan nenek moyang kita hilang dengan sia-sia belaka," kata Kahar tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945—19 Agustus 1945.
Baca juga: Soegoro Atmoprasodjo, Orang Pertama yang Memperkenalkan Nasionalisme Indonesia di Papua
Mohammad Yamin, salah satu anggota yang lain, menguraikan pendapatnya yang cukup panjang. Dia merumuskan konsep Indonesia Raya yang terbentang meliputi wilayah bekas Hindia Belanda, Borneo Utara (Sabah dan Sarawak), Malaya, Timor Portugis (kini Timor Leste), hingga Papua. Menurut Yamin, secara historis, politik, dan geopolitik, wilayah-wilayah tadi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Soal Papua pun demikian. "Papua adalah wilayah Indonesia," kata Yamin.
Menurut Yamin, posisi Papua sebagai pintu gerbang kawasan Pasifik sangat menentukan secara geopolitik. "Sehingga untuk menyempurnakan daerah yang berarti kuat dan abadi, perlulah pulau Papua seluruhnya dimasukan ke dalam Republik Indonesia," ujar Yamin. Yamin yang seorang ahli hukum dan pakar sejarah itu juga mengikat Papua dengan gagasan historisnya. Bahwa di masa lalu, Papua merupakan vassal (daerah penaklukkan) kerajaan Tidore di Maluku.
"Sebahagian dari pulau Papua adalah masuk lingkungan dan adat kerajaan Tidore, sehingga dengan sendirinya daerah itu benar-benar daerah Indonesia," kata Yamin. Dengan dalil itu, maka jelas sudah alasan untuk memasukan Papua ke dalam kekuasaan negara Indonesia.
Baca juga: Demi Pengakuan Kedaulatan
Keesokan harinya, sidang masih berlanjut dengan agenda pembahasan yang sama. Mohammad Hatta memajukan usulan yang berlainan dengan konsep Yamin. Gagasan "ilmiah" Yamin agak kurang masuk akal bagi Hatta. Khusus untuk Papua, Hatta tidak sepakat memasukan wilayah ini ke dalam Republik Indonesia. Menilik kesamaan etnis yang serumpun Melayu, Hatta lebih memilih Malaya dan Borneo Utara bersama dengan bekas wilayah Hindia Belanda sebagai keseluruhan Indonesia.
"Sekiranya bagian Papua itu ditukar dengan Borneo Utara, saya tidak berkeberatan, malah bersyukur," kata Hatta. "Karena, seperti saya katakan dahulu, saya tidak minta lebih dari pada tanah air Indonesia yang dulu dijajah oleh Belanda."
Mengenai Papua, Hatta mengatakan bahwa orang Papua berasal dari bangsa Melanesia, berbeda dengan Indonesia yang Melayu. Menurut perhitungannya, pemerintah Indonesia kelak masih belum cukup mapan mendidik rakyat Papua menjadi bangsa yang merdeka. Sehingga bagi Hatta, adalah lebih baik menyerahkan masa depan Papua kepada rakyat Papua sendiri atau biar ditangani saja oleh Jepang.
Sukarno lalu datang menyampaikan suara yang senada dengan gagasan Yamin. Menurut Sukarno, wilayah Indonesia yang terbentang dari Sumatera hingga Papua adalah karunia Tuhan. Mengutip kitab Negarakertagama (yang dibuat cendekiawan Kerajaan Majapahit, Mpu Prapanca pada 1365), Sukarno menyatakan bahwa sejatinya kekuasaan Kerajaan Majapahit melebar hingga ke pulau Papua.
Baca juga: Papua dan Ambisi Presiden Pertama
Gagasan Yamin dan Sukarno tampaknya mendapat banyak dukungan dari kebanyakan anggota. Silang gagasan pun tidak terhindarkan. Tokoh senior, Agus Salim, dari kalangan Islam dan Soetardjo yang mantan anggota Volksraad prihatin menyaksikan perdebatan. Mereka mengingatkan agar persoalan Papua jangan sampai jadi bahan pertikaian pendapat.
"Pada hari yang lain kita boleh membicarakan soal Papua, tetapi untuk sekarang, untuk sementara waktu, hendaknya kita tunda saja soal Papua. Tuan Ketua, satu kali terlepas dari tangan kita, nanti Papua itu menjadi benda pertikaian menjadi benda perselisihan antara saudara-saudara," kata Soetardjo. Pun demikian dengan Alexander Maramis, anggota dari Manado, yang menganjurkan agar menunggu sikap penduduk Malaya, Borneo Utara, Timor, dan Papua untuk bergabung dengan Indonesia.
Untuk memecahkan kebuntuan, Ketua BPUPKI, Radjiman Wedyodiningrat mengadakan pemungutan suara. Ada tiga opsi untuk dipilih sebagai wilayah negara Indonesia: (1) seluruh Hindia Belanda; (2) Hindia Belanda ditambah Malaya, Borneo Utara, Timor, dan Papua; (3) Hindia Belanda ditambah Malaya dan Borneo Utara minus Papua. Hasilnya, dari 66 peserta sidang, opsi nomor 1 memperoleh 19 suara, opsi nomor 2 memperoleh 39 suara, opsi nomor 3 memperoleh 6 suara, blangko 1 suara, dan lain-lain 1 suara.
Pada akhirnya, gagasan kesatuan Yamin dan Sukarno memperoleh suara terbanyak. Konsep ini lah yang kemudian diterima sebagai wilayah Indonesia Raya, dari Sabang sampai Merauke. Sementara usulan Hatta dimentahkan dalam forum karena mendapat suara paling sedikit.
Menurut sejarawan Belanda Pieter Drooglever, penentuan masa depan Papua yang dirembug dalam forum BPUPKI bukanlah wadah yang representatif. Pasalnya, tiada seorang pun wakil dari Papua yang menyampaikan suaranya di sana. Dilibatkan pun tidak. Wakil Papua baru tampil sebagai delegasi setahun kemudian dalam Konferensi Malino- perundingan yang diselenggarakan pihak Belanda.
Baca juga: Frans Kaisiepo, Jejak Langkah Putra Irian
Mayoritas para anggota BPUPKI berasal dari Sumatera dan Jawa. Satu-satunya wakil dari kawasan paling timur adalah Johanes Latuharhary yang berasal dari Ambon. Kepentingan kaum Republikan sangat mendominasi. Hatta merupakan satu-satunya tokoh yang bersikap rasional soal Papua.
"Semua ini merupakan pilihan-pilihan yang interesan, yang di dalam dasawarsa mendatang tetap akan membuat gejolak dalam percaturan politik di Asia Tenggara. Akan tetapi, untuk sementara hasilnya sedikit saja," tulis Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri.
Mufakat pendiri bangsa dalam BPUPKI itu nyatanya tetap menyisakan debat di kemudian hari. Ketika Indonesia merdeka, Latuharhary ditunjuk sebagai Gubernur Maluku, yang wilayah ampunya sampai ke Papua. Namun Latuharhary tidak pernah berada di Papua menjalankan pemerintahan. Belanda keburu datang untuk berkuasa kembali. Belanda tetap bercokol di Papua bahkan setelah pengakuan kedaulatan pada 1949. Sengketa panjang Belanda dengan Republik Indonesia pun dimulai.
Baca juga: Duri dalam Daging Bernama Irian Barat
Posted by: Marco 45665 <comoprima45@gmail.com>
Reply via web post | • | Reply to sender | • | Reply to group | • | Start a New Topic | • | Messages in this topic (1) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar